Vivoonline99News - Jerat utang seakan menjadi hal yang tak bisa dilepas banyak negara di dunia. Bagian dari sistem perekonomian, sejatinya utang baik milik pemerintah, swasta maupun individu satu komponen yang dibutuhkan.
Di mana, bila pengelolaan utang berlangsung dengan benar maka manfaat bisa didapat, sebaliknya bisa jadi backfire bila tak terkelola dengan baik.
Teranyar, Bank Dunia membeberkan kondisi utang negara-negara di dunia melalui laporan bertajuk International Debt Statistics (IDS) 2021. Laporan setebal 194 halaman tersebut merinci utang banyak negara-negara di dunia hingga akhir 2019. Mulai dari besaran total, sumber utang hingga rasio utang.
Dalam laporannya, Presiden Bank Dunia Group David Malpass menunjukkan bahwa hampir setengah dari negara berpenghasilan rendah berada dalam posisi sulit dan berisiko tinggi terkait utangnya di 2019.
Laporan ini muncul di tengah pandemi, tetapi memakai data kondisi utang sebelum banyak negara kian terpuruk imbas hantaman pandemi Covid-19.
Dia pun mengkaitkan posisi utang tersebut dengan kondisi saat ini. Banyak negara di dunia terpuruk akibat pandemi dan harus menanggung utang yang besar.
"Memiliki beban utang berpotensi menyedot sumber daya yang dibutuhkan negara-negara ini unuk bisa mendanai krisis kesehatan dan mempercepat upaya pemulihan ekonomi," ujar dia dalam laporannya.
Indonesia tak luput dari perhatian. Laporan Bank Dunia menguak jika Indonesia termasuk ke dalam 10 negara berpendapatan kecil-menengah dengan jumlah utang luar negeri terbesar pada 2019.
Tepatnya, Indonesia berada pada posisi ke-6 (daftar tanpa memasukkan China) dengan total utang USD 402,08 miliar atau sekitar Rp 5.907 triliun (kurs Rp 14.693 per USD) di 2019. Terdiri dari utang jangka panjang USD 354,5 miliar dan jangka pendek USD 44,799 miliar.
Adapun utang Indonesia kembali naik di 2020. Bank Indonesia (BI) melaporkan jika hingga Agustus 2020, Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia meningkat menjadi USD 413,4 miliar, atau sekitar Rp 6.074 triliun.
Jumlah tersebut terdiri dari ULN sektor publik (Pemerintah dan Bank Sentral) sebesar USD 203,0 miliar, dan ULN sektor swasta (termasuk BUMN) sebesar USD 210,4 miliar.
"Pertumbuhan ULN Indonesia pada Agustus 2020 tercatat 5,7 persen (yoy), lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan bulan sebelumnya sebesar 4,2 persen (yoy), disebabkan oleh transaksi penarikan neto ULN, baik ULN Pemerintah maupun swasta," ujar Kepala Departemen Komunikasi BI, Onny Widjanarko.
Selain itu, Onny menyebutkan penguatan nilai tukar Rupiah terhadap dolar AS juga berkontribusi pada peningkatan nilai ULN berdenominasi Rupiah.
Lebih rinci, posisi utang luar negeri Pemerintah pada akhir Agustus 2020 tercatat sebesar USD 200,1 miliar atau tumbuh 3,4 persen (yoy). Lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan bulan Juli 2020 sebesar 2,3 persen (yoy).
Perkembangan ini terutama didorong penarikan sebagian komitmen pinjaman dari lembaga multilateral yang memberikan dukungan kepada Indonesia untuk menangani pandemi COVID-19 dan Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).
Sementara untuk utang luar negeri swasta pada Agustus 2020 tercatat 7,9 persen (yoy), meningkat dibandingkan dengan pertumbuhan pada Juli 2020 sebesar 6,2 persen (yoy).
Perkembangan ini dipengaruhi pertumbuhan ULN perusahaan bukan lembaga keuangan (PBLK) dan ULN lembaga keuangan (LK) masing-masing sebesar 10,3 persen (yoy) dan 0,4 persen (yoy).
Meski begitu, disebutkan struktur ULN Indonesia tetap sehat, didukung penerapan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaannya. Dimana rasio ULN Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada akhir Agustus 2020 sebesar 38,5 persen.
Angka tersebut relatif stabil dibandingkan dengan rasio utang pada bulan sebelumnya sebesar 38,2 persen. Adapun struktur ULN Indonesia tetap didominasi oleh ULN berjangka panjang dengan pangsa 89,0 persen dari total utang luar negeri.
Situs Slot Terbaik
Menanggapi mengenai posisi utang Indonesia, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengingatkan jika bukan hanya Indonesia yang saat ini memiliki utang luar negeri dengan nilai bombastis. Kenaikan utang di beberapa negara lain disebutnya bahkan hingga di atas 100 persen dari produk domestik bruto (PDB).
Menurut dia, pemerintah telah menghitung secara hati-hati dan transparan setiap aliran dana yang mengalir, termasuk utang.
"Selama ini kita bisa mendapatkan akses dari market secara reasonable. Ini juga karena Indonesia memiliki track record pengelolaan APBN yang selalu kita sampaikan ke seluruh stakeholder dalam negeri maupun investor dunia," jelasnya dalam siaran virtual.
Sri Mulyani menjelaskan, tren kenaikan utang secara global saat ini terjadi lantaran banyak negara memperlebar defisit anggaran. Itu tidak bisa dihindari karena mayoritas negara harus memberikan stimulus fiskal guna menopang pelemahan ekonomi.
Untuk itu, rasio utang Indonesia pada 2020 ini diprediksi mencapai 38,5 persen terhadap PDB. Sementara rasio utang di 2021 dipatok tembus hingga 41,8 persen, namun defisit diturunkan menjadi -5,5 persen.
Namun, Sri Mulyani tidak terlalu mempermasalahkan angka rasio utang tersebut, sebab telah melihat adanya pemulihan ekonomi pada akhir tahun ini. Dia justru berpendapat, rasio utang rendah berpotensi memberatkan negara jika pemerintahnya tidak bisa mengelola utang tersebut.
Menambahkan Menkeu, Staf khusus Menteri Keuangan Bidang Kebijakan Fiskal dan Makroekonomi, Masyita Crystallin, menyatakan utang Indonesia masih aman dan terjaga. Oleh karena itu, masyarakat tidak perlu cemas merespons besarnya utang luar negeri Indonesia ini.
"Data ini adalah data utang luar negeri total, termasuk swasta. Kalau melihat dari sisi porsi utang pemerintah saja, dalam jangka panjang risiko fiskal kita masih terjaga karena beberapa alasan," singkat dia.
Rinciannya, pertama, porsi utang valas sebesar 29 persen per 31 Agustus lalu masih terjaga. Alhasil resiko nilai tukar lebih bisa dikelola dengan baik (manageable).
Kedua, profil jatuh tempo utang Indonesia dinilai masih cukup aman dengan average time maturity atau ATM 8,6 tahun (per Augustus 2020) dari 8,4 tahun dan 8,5 tahun di 2018 dan 2019.
Adapun, sambung Masyita, beberapa strategi pemerintah untuk mengelola utang yakni memitigasi risiko fiskal, terutama pada portofolio utang.
"Kita juga melakukannya strategi aktif meliputi buyback, debt switch, dan konversi pinjaman. Selain itu, secara umum tetap dilakukan manajemen yang baik terhadap waktu jatuh tempo dan pendalaman pasar keuangan," tambah dia.
Lalu, pemerintah juga tengah giat menggarap pasar domestik yang menyasar investor retail dari rakyat Indonesia sendiri. Di antaranya dengan menerbitkan Surat Berharga Negara (SBN) ritel, pengembangan instrumen dan infrastruktur pasar SBN untuk mengurangi ketergantungan pada utang luar negeri.
Sumber : Liputan6
No comments:
Post a Comment